Home » » Perlukah Ujian Kompetensi Wartawan, dan Apa Sanksinya ?

Perlukah Ujian Kompetensi Wartawan, dan Apa Sanksinya ?

PADA tanggal 15 sampai 16 Juni 2012 lalu, saya bersama 37 wartawan anggota PWI Jakarta megikuti Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) untuk memperoleh sertifikat standar kompetensi wartawan. Hanya satu orang yang tidak lulus dan alhamdulillah, saya sendiri lulus dengan predikat terbaik kategori Utama. Kategori Utama adalah untuk wartawan yang sudah senior dan level Redaktur Pelaksana (Redpel) dan Pemimpin Redaksi (Pemred). saya sendiri sebanarnya sudah pensiun menjadi Pemred beberapa tahun belakangan ini.
Saya merasa harus mengikuti UKW karena profesi ini tetap melekat pada saya dan rasanya tidak lengkap menjadi wartawan, kalau belum lulus UKW dan mendapatkan sertifikat standar kompetensi. Ketika mendapat pemberitahuan akan dibukanya UKW di Surabaya, saya tidak memperoleh gambaran apa-apa tentang hal itu. Sementara kawan-kawan di Surabaya, kabarnya sudah pernah mengikuti semacam simulasi sebelum UKW dilaksanakan.

Celakanya, justru kawan-kawan saya yang sudah mengikuti simulasi itu malah mengundurkan diri dengan alasan belum siap. Bagi kami yang berangkat di saat-saat injury time dari jadwal UKW, merasa beruntung, tidak menderita secara psikolgis karena takut menghadapi ujian yang kabarnya sangat berat itu. Ini menjadi berkah tersendiri buat kami, sehingga pada saat memasuki bangku ujian, tidak merasakan hal yang luar biasa. Toh ujian sudah sering kita ikuti, kok masih saja ada perasaan cemas hehehehe... Dengan berbekal rasa percaya diri karena telah membaca UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, Kode Etik Jurnalistik, dan hal lain yang berkaitan dengan teori dan praktik jurnalistik, saya siap untuk ujian. Bismillah.

Apa yang terjadi? Ternyata begadang berhari-hari untuk mempersiapkan diri menghadapi UKW, nyaris tidak ada gunanya. Karena UKW tidak seperti yang saya bayangkan selama ini. Kalau tidak pilihan ganda ya soal nalar. Yang kami hadapi adalah bahan ujiannya, merupakan pekerjaan sehari-hari seorang wartawan, seorang redaktur, seorang Redpel, dan seorang Pemred. Nah.... kalau Anda memang seorang wartawan, seorang redaktur, seorang Redpel, dan seorang Pemred yang bekerja sungguh-sungguh untuk sebuah media massa, pasti tidak akan menemui kesulitan untuk melewati UKW.Kelihatannya ini untuk membedakannya antara wartawan dengan yang bukan wartawan.

Atau dengan kata lain, bagi kawan-kawan wartawan yang belum mengikuti UKW, tidak perlu terlalu cemas. Bahan ujiannya hanya seputar hal-hal yang kita kerjakan sehari-hari. Artinya, kalau kita tidak pernah mengerjakannya, maka akan sulit mengikuti ujian, apalagi untuk lulus. Atau mungkin jika terjadi salah kelas. Anda ingin langsung mengikuti ujian Kelas Utama, padahal Anda masih seorang wartawan, sesenior apapun, tentu akan mendapatkan kesulitan. Ternyata wartawan senior yang bisa ikut UKW Utama hanya bagi mereka yang sudah melewati jabatan Pemred atau Redpel. Kalau tidak, Anda pasti tidak bisa mengerjakan soal yang diberikan.

Ada tiga kategori wartawan dalam UKW yaitu; wartawan Muda, wartawan Madya, dan wartawan Utama. Setiap kategori ini akan diberikan bahan ujian yang berbeda-beda, sesuai dengan pekerjaan mereka sehari-hari sebagai wartawan, sebagai redaktur, sebagai Redpel, dan sebagai Pemred. Sebagai gambaran, untuk mata ujian wartawan Utama terdiri atas; Rapat Redaksi, Mengarahkan Liputan Investigasi, Menentukan Bahan Liputan Layak Siar, Menulis Opini/Tajuk, Kebijakan Rubrikasi, dan Fasilitasi Jejaring. Yang disebut terkahir ini, adalah menyangkut kemampuan membangung jaringan dengan nara sumber melalui saluran komunikasi yang ada.

Misalnya saluran telepon. Setiap peserta ujian diminta untuk mengumpulkan paling tidak 20 nama nara sumber untuk dihubungi secara spontan saat ujian berlangsung. Nara sumber yang berhasil dihubungi, akan berbicara dengan peserta ujian sebelum berbicara dengan penguji. Banyak kejadian menarik, ketika nara sumber yang berhasil dihubungi malah sedang makan, sedang menyetir dan lain-lain sehingga tidak bisa melayani komunikasi dengan kita.

Pengalaman Pribadi. Untuk seluruh wartawan Utama di Jawa Timur, mendapat penguji dari PWI pusat, yaitu Pak Widodo A. Dia adalah Dewan Redaksi Harian Pikiran Rakyat Bandung yang sudah lebih dahulu lulus UKW. Biasanya, yang dijadikan sebagai tim penguji adalah mereka yang memperoleh predikat 1 sampai 3 di provinsi masing-masing saat UKW berlangsung. Demikian pula halnya dengan Pak Widodo A. Ujian yang berlangsung dua hari penuh nyaris tanpa istirahat itu, membuat kami benar-benar kelelahan. Pada saat UKW, Pak Widodo menggunakan rentang nilai 65, 70, 75, dan nilai tertinggi 80. Bagi peserta yang mendapatkan skor hanya 65, maka langsung dinyatakan tidak lulus. Nilai terendah yang harus diperoleh setiap peserta UKW adalah 70 untuk setiap mata ujian. Setiap peserta UKW, tidak boleh mendapatkan angka di bawa itu karena sistemnya bukan akumulasi, tetapi masing-masing mata uji.

Walaupun mendapatkan angka 80 untuk mata ujian lainnya, tetapi tidak bisa menutupi perolehan angka 65 untuk mata ujian lainnya. Ini aturannya. Bagi saya yang sudah melakoni pekerjaan redaksional sejak tahun 1989 menjadi wartawan, kemudian menjadi redaktur, menjadi Redpel, dan menjadi Pemred tentu saja tidak ada kesulitan berarti. Karena bahan pertanyaannya adalah pekerjaan sehari-hari. Bisa jadi karena panjangnya pengalaman itu, saya mendapat nilai 80 untuk tiga mata ujian dan sisanya saya mendapatkan angka 75. Sementara kawan-kawan saya lainnya di wartawan Utama tidak ada yang mampu menembus angka 80.

Pada saat memberikan nilai, diberikan secara terbuka. Bahkan ada lembaran komplain jika peserta keberatan dengan nilai yang diberikan penguji. Saya sendiri sempat komplain pada mata ujian Menulis Tajuk. Saya merasa sudah menulis dengan baik dan berkualitas, tetapi saya sempat kecewa karena penguji saya memberikan angka 75. Penguji beralasan, tulisan saya ada kelemahannya. Dia kemudian menunjukan kesalahan saya dalam menulis tajuk tersebut yaitu adanya singkatan dan pencantuman istilah yang tidak dikenal.

Bagi kawan-kawan yang belum sempat ikut UKW, hal seperti ini harus benar-benar diperhatikan. Untuk menjawab komplain saya, Pak Widodo mengatakan, ''Mau tetap ngotot dengan angka sempurna atau saya kurangi lima poin, tetapi Anda memperoleh pelajaran seumur hidup dari saya.'' Saya kemudian memilih kurangi poin, tetapi saya dapat pelajarannya. Artinya, saya tidak boleh ngotot dengan nilai sempurna dan merasa karya saya sudah sangat sempurna sehingga membuat saya lega. Inilah pelajaran yang saya dapatkan, dan bagi saya itu sangat penting. Membayar ilmu dengan potongan lima angka, lebih baik dari pada merasa sudah sempurna, tetapi membuat kita sombong dan merasa sudah sempurna.

Hal lain yang menarik adalah ketika saya harus menghubungi sejumlah nama yang sudah saya setor untuk mata ujian Fasilitasi Jejaring. Pilihan pertama saya sebenarnya jatuh pada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Rasiyo. Tetapi setelah berkali-kali saya hubungi, nomornya selalu ada nada sibuk. Saya kemudian minta ijin untuk menghubungi nara sumber lain. Pilihan kedua saya jatuh pada Haris Azhar, Koordinator Kontras. Rupanya begitu saya telepon, dia langsung mengangkat dan menerima salam saya.

Beberapa saat kemudian, saya serahkan pada Pak Widodo untuk melanjutkan percakapan. Sekilas saya mendengar pertanyaan adalah, ''Bagaimana menurut Anda (nara sumber), selama Khairudin menjadi wartawan.'' Yang bisa saya tangkap adalah penguji ingin mengetahui persepsi nara sumber terhadap kita. Perilaku kita, serta sepak terjang kita yang diketahui oleh nara sumber yang dihubungi via telepon itu. Syukurlah banyak hal positif yang disampaikan Koordinator Kontras tentang saya sehingga tidak ada kesulitan.

Usai dengan nara sumber pertama, saya diminta untuk menghubungi nara sumber lainnya. Kali ini yang saya hubungi, ketua Harian SPSI yang juga anggota Dewan Pers, Pak Ridlo Eysi'. Seperti Koordinator Kontras, Pak Ridlo pun ketika saya telepon langsung merespon dan menjawab salam saya. Selanjutnya saya serahkan kepada penguji saya. Karema mereka sama-sama berasal dari Jawa Barat, karena mereka sama-sama menjadi Dewan Redaksi di Harian Pikiran Rakyat Bandung, karena mereka bertetangga, maka komunikasi pun demikian lancar. Menggunakan bahasa 'kumaha' lagi.

Syukurlah, saya pun melewati ujian ini dengan baik. Ketika saya tawarkan untuk menelepon lagi, Pak Widodo bilang; ''Sudah-sudah cukup. itu kawan saya semua.'' Padahal saya sudah siap-siap untuk menelepon Pak Bekti Nugroho, yang juga anggota Dewan Pers. Alhasil, pada mata ujian ini pun saya memperoleh nilai yang bagus. Tidak ada masalah dengan jejaring yang sudah saya bangun selama saya menjadi wartawan. Oleh penguji sudah dianggap sukses dan perlu diberikan apresiasi yang sepadan. Lulus. Lalu apa pentingnya UKW ini? Inilah pertanyaan yang banyak saya terima setelah lulus UKW.

Saya hanya bisa mengatakan, suatu saat Dewan Pers akan mengeluarkan ketentuan bahwa setiap nara sumber boleh menolak wartawan yang wawancara jika belum lulus UKW. Bagaimana kalau si wartawan yang ditolak wawancara itu tetap menulis bahwa saat diwawancarai nara sumber tidak mau berkomentar? Apa tindakan Dewan Pers dalam hal ini. Dewan Pers, sesuai dengan amanat pasal 15 UU Nomor 40 tahun 1999, pelindung kemerdekaan pers.

''Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. Jika dulu sebagai penasehat pemerintah, sekarang Dewan Pers menjadi pelindung kemerdekaan pers.'' Menurut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Pers Dewan Pers berfungsi sebagai berikut : Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; Mendata perusahaan pers. Saya tidak melihat ada fungsi memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran oleh wartawan dalam menjalankan profesinya maupun jika dilakukan oleh perusahaan pers. Inilah yang kemudian dipersoalkan oleh banyak kalangan mengenai Dewan Pers. Berbeda sekali dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) misalnya yang memiliki kewenangan bisa menghentikan acara televisi atau radio jika ketahuan melakukan pelanggaran. Maka jangan heran, sebagian kalangan memandang UKW ini sebagian kegiatan yang tidak relevan untuk dilaksanakan saat ini. Bagaimana pendapat Anda? (*)




0 komentar:

Posting Komentar

 
Sekretariat : Jl. Raya Suningrat No. 9 Ketegan Sidoarjo, Jawa Timur - Indonesia
Copyright © 2014. dpdkwrijatim. - All Rights Reserved

SUPPORT BY : PORTAL ONLINE